Sukses

Angka Kemiskinan dalam Kampanye

Lepas dari kampanye dan debat soal validitas data, sudah waktunya politisi meluangkan waktu untuk memahami lebih baik tentang statistik kemiskinan. Persoalannya, banyak angka kemiskinan dikutip, dibandingkan, dikritik, dan dijadikan bahan argumentasi secara keliru.

Sebelum masa kampanye pilpres, saya menebak soal angka kemiskinan akan jadi salah satu isu besar. Isu kemiskinan secara umum memang muncul. Tapi debat tentang perhitungan angka kemiskinan tidak terangkat sesering saya kira.

Sekali isu ini diangkat oleh Hasjim Djojohadikusumo, yang dijadikan salah satu materi publikasi kampanye pasangan Megawati-Prabowo. Yang dikatakan sebenarnya sudah pernah diangkat hampir dua tahun lalu oleh Wiranto ketika ia mendeklarasikan Partai Hanura dan pencalonannya sebagai presiden. Hasjim dan Wiranto sama-sama meragukan angka kemiskinan versi pemerintah yang hanya sekitar 15 persen dari penduduk Indonesia. Mereka membandingkan dengan statistik Bank Dunia, di mana hampir sekitar 49 persen hidup dengan standar kurang dari dua dolar AS per hari.

Ini sebenarnya pola klasik dalam kampanye. Incumbent akan menekankan prestasi bahwa angka kemiskinan bisa diturunkan. Sementara penantang akan berusaha menjual kesan bahwa pencapaian itu semu, dan keadaan masih sangat buruk.

Lepas dari kampanye dan debat soal validitas data, saya kira sudah waktunya politisi meluangkan waktu untuk memahami lebih baik tentang statistik kemiskinan. Saya banyak melihat angka kemiskinan dikutip, dibandingkan, dikritik, dan dijadikan bahan argumentasi secara keliru. Bukan berarti angka-angka itu adalah kebenaran mutlak yang tidak bisa digugat. Bukan berarti penjelasan pemerintah tentang statistik kemiskinan lantas tidak bisa dipertanyakan. Tapi melontarkan kritik tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang dikritik menjadi sama saja dengan menggugat kesesatan dengan kesesatan lain.

Ada dua versi angka kemiskinan yang dirujuk: angka kemiskinan nasional versi pemerintah—yang selama ini dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) termasuk di era Megawati—dan angka kemiskinan internasional hasil perhitungan Bank Dunia. Mari kita lihat yang pertama dulu.

Bagaimana angka kemiskinan nasional didapat? Pertama, penentuan standar kebutuhan minimum yang dibedakan atas makanan dan non-makanan. Kebutuhan makanan diperhitungkan berdasarkan kemampuan untuk mengkonsumsi 2.100 kalori per orang per hari, yang merupakan standar internasional. Sementara kebutuhan non-makanan mencakup sejumlah komoditas sandang, pendidikan, dan kesehatan.

Kedua, menerjemahkan konsep kemiskinan di atas ke dalam pengukuran. Sederhananya, bagaimana standar 2.100 kalori serta kebutuhan non-makanan itu ditentukan? Caranya adalah dengan memilih apa yang disebut sebagai “kelompok referensi” (reference group). Kelompok referensi adalah rumah tangga yang pengeluarannya ada di sekitar 15-20 persen terbawah dalam estimasi distribusi pendapatan penduduk Indonesia. Kelompok ini dijadikan acuan untuk melihat apa saja yang mereka konsumsi sehari-hari—beras jenis apa, sayur atau daging apa, dan sebagainya—untuk menentukan komoditas apa saja yang akan masuk dalam perhitungan standar kemiskinan.

Ketiga, dengan informasi dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional, survei rumah tangga yang dilakukan secara berkala oleh BPS, garis kemiskinan ditentukan. Mereka yang pengeluarannya di bawah garis kemiskinan adalah, secara definisi, penduduk miskin. Pada 2008, garis kemiskinan adalah Rp 205 ribu per orang per bulan di kota, dan Rp 161 ribu di desa. Dengan patokan ini, pada 2008 ada sekitar 35 juta penduduk Indonesia yang tergolong miskin, atau sekitar 15 persen dari total populasi.

Angka ini disebut sebagai “angka kemiskinan nasional”. Validitas angka kemiskinan akan ditentukan oleh berbagai hal: 1.) kualitas pengumpulan data, 2.) standar kebutuhan minimum yang digunakan, 3.) pemilihan komoditas yang digunakan untuk menentukan garis kemiskinan, dan 4.) kelompok referensi yang dipilih.

Jika ketiga faktor pertama kita anggap eksogen, yang akan sangat menentukan adalah pemilihan kelompok referensi. Yang pernah saya ketahui, BPS cenderung memilih kelompok referensi yang posisinya relatif tinggi (overshoot) dalam distribusi pendapatan. Ini bisa diterima dengan pemikiran bahwa garis kemiskinan menjadi standar yang “normatif” atau kondisi yang diinginkan, bukan sekadar “deskriptif”. Tapi kalau itu yang terjadi, standar konsumsinya dan garis kemiskinan akan jadi lebih tinggi, sehingga angka kemiskinan yang 15 persen itu menjadi terlalu tinggi, bukan rendah.

* * *

Versi kedua adalah angka kemiskinan internasional yang dipublikasikan Bank Dunia sejak 1990. Angka ini ditentukan berdasarkan garis kemiskinan sebesar 1 dan 2 dolar AS per hari. Tujuannya adalah untuk melakukan komparasi antarnegara di dunia. Membandingkan angka kemiskinan nasional di masing-masing negara memiliki problem adanya disparitas metode dan standar hidup. Adanya sebuah standar internasional memungkinkan kita melihat perbedaan tingkat pembangunan dan kualitas hidup di negara-negara berbeda.

Penting untuk diketahui, penentuan 1 dan 2 dolar AS di sini dilakukan menurut nilai tukar paritas daya beli (Purchasing Power Parity, PPP), bukan nilai tukar nominal. Nilai tukar PPP adalah konsep yang memperhitungkan daya beli yang berbeda-beda di tiap negara, karena standar hidup yang berbeda. Ketika perbedaan daya beli ini diperhitungkan, nilai tukar rupiah secara riil menjadi lebih kuat dari nilai nominalnya. Selama ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam satuan PPP biasanya 2-3 kali lebih kuat dari kurs nominal. Artinya, satu dolar di New York hanya cukup untuk membeli satu buah hot dog; tapi di Jakarta dengan nilai yang sama ia bisa membeli seporsi makanan dengan asupan yang setara dengan tiga buah hot dog.

Dalam perhitungan PPP, garis kemiskinan BPS kurang lebih setara dengan 1,5 Dolar AS per hari. Ambil garis kemiskinan rata-rata BPS 2008 sebesar Rp 180 ribu per bulan, sama dengan 20 dolar per bulan atau sekitar 70 sen per hari dalam perhitungan nominal. Kita dapatkan rasio antara kurs PPP dan nominal adalah 2,25. Artinya, standar dua dolar PPP setara dengan pengeluaran nominal sebesar 4,5 dolar per hari, atau 135 dolar per bulan, atau Rp 1,2 juta per bulan. Bukan Rp 540 ribu seperti perhitungan sederhana Hasjim. Satu catatan, ini adalah perkiraan kasar karena untuk mendapatkan angka yang tepat, tiap komoditas dalam garis kemiskinan harus dikonversi dalam satuan PPP.

Masuk akal kalau separuh populasi penduduk Indonesia hidup dengan konsumsi di bawah Rp 1,2 juta per bulan. Meski saya tidak mengatakan ini adalah kondisi ideal. Negara seperti Korea Selatan atau Taiwan yang pada 1960-an kondisinya tidak jauh berbeda dengan Indonesia bisa menekan angka kemiskinan di bawah dua dolar per hari menjadi kurang dari separuh yang ada di Indonesia.

Di sisi lain, dalam kacamata kebijakan, penting bagi kita untuk mendefinisikan siapa yang kita maksud sebagai “miskin”. Karena ini akan menentukan kebijakan seperti apa yang akan diambil. Strategi kebijakan akan berbeda untuk tingkat kemiskinan 15 persen atau 49 persen. Jika kita menyamakan perlakuan buat mereka yang berpendapatan di bawah 200 ribu dengan Rp 1,2 juta per bulan, maka kebijakan itu akan menjadi tidak efisien, dan mungkin juga tidak efektif.

Tapi, statistik juga menggarisbawahi satu persoalan mendasar tentang kemiskinan di Indonesia: banyaknya penduduk bukan miskin yang hidup sangat dekat dengan garis kemiskinan. Untuk kelompok ini, yang diperlukan bukan kebijakan transfer melainkan yang lebih berorientasi pada perlindungan sosial.

Sayangnya nyaris tidak ada materi kampanye yang menukik ke isu ini. Mungkin ini bisa jadi bahan pertimbangan buat para politisi di masa depan: carilah personel tim kampanye yang cukup paham “dapur” statistik kemiskinan dan strategi kebijakan yang tepat.

* Penulis adalah mahasiswa program doktoral bidang ekonomi di University of Melbourne, Australia, dan blogger di cafesalemba.blogspot.com.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.