Sukses

Rezim Yudhoyono

Yang tersisa sekarang adalah pertanyaan bagaimanakah bentuk rezim Yudhoyono dalam lima tahun ke depan. Jawaban ini bisa dijawab sedikit banyak dari cara Yudhoyono memenangkan pemilihan presiden.

Sulfikar Amir

Seperti diprediksi banyak orang, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil memenangkan pemilihan presiden 2009. Dan, seperti yang ditargetkan para pendukungnya, pasangan Yudhoyono dan Boediono mampu meraih kemenangan telak dalam satu putaran. Sayang sekali kemenangan ini, seperti kata Syamsuddin Haris di Kompas, terasa hambar. Hari-hari menjelang pemilihan presiden, seluruh rakyat terlihat begitu antusias memberi dukungan kepada pasangan pilihan mereka. Antusiasme publik yang begitu luar biasa dibandingkan dengan perhelatan serupa di negara-negara demokratis yang lain tidak dibarengi dengan kesiapan para anggota KPU dalam melakukan tugas mereka. Kecurangan di sana-sini yang begitu kentara tidak dipedulikan. Lebih fatal lagi, proses penghitungan yang berjalan begitu lambat yang menunjukkan bahwa KPU tidak belajar sama sekali dari pengalaman pemilu legislatif.

Tetapi yang justru membuat pilpres kali ini terasa agak janggal yaitu luapan kemenangan kubu Yudhoyono-Budiono yang begitu prematur. Perhitungan resmi dari KPU belum keluar, para pendukung Yudhoyono-Boediono telah mengklaim kemenangan hanya berdasarkan hasil quick count. Bukan soal apakah quick count itu akurat atau tidak, tetapi lebih pada soal institusi yang secara formal memegang otoritas untuk menentukan pemenang. Yang terlihat justru hasrat menang yang begitu menggebu-gebu yang ditunjukkan oleh Yudhoyono tanpa melihat sedikit pun fakta bahwa proses kemenangan yang diraih itu penuh cacat di sana-sini. Ini adalah sebuah kemenangan tergesa-gesa yang kontras dengan citra Yudhoyono sebagai sosok yang penuh dengan pertimbangan matang. Adanya gugatan dari para pasangan yang lain bahkan dianggap semata sebagai ancaman bukan sebagai upaya koreksi terhadap sistem demokrasi. Hal ini terlihat jelas dari pernyataan Yudhoyono yang dikeluarkan pascaperistiwa pengeboman Hotel JW Marriot and The Ritz-Carlton, beberapa hari setelah pilpres. 

Kini kita semua tahu bahwa peristiwa pengemboman tersebut tidak terkait dengan politik pilpres seperti diisyaratkan Yudhoyono. Dan, ketika keputusan akhir KPU yang menyatakan pasangan Yudhoyono-Budiono sebagai pemenang pilpres 2009, suasana kemenangan itu bagai antiklimaks. Yang tersisa sekarang adalah pertanyaan bagaimanakah bentuk rezim Yudhoyono dalam lima tahun ke depan. Jawaban ini bisa dijawab sedikit banyak dari cara Yudhoyono memenangkan pemilihan presiden.

Menurut saya, ada tiga faktor yang akan menjadi ciri-ciri rezim Yudhoyono ke depan. Pertama adalah soal struktur kabinet. Ada beberapa orang berharap bahwa kabinet lima tahun ke depan disusun secara efisien dan diisi kalangan profesional yang memiliki kemampuan sesuai dengan bidang yang ditangani. Keputusan Yudhyono untuk mengajak Boediono sebagai wakil presiden dilihat sebagai keinginan Yudhoyono untuk membangun sebuah pemerintahan profesional. Tetapi saya kira kabinet yang sepenuhnya profesional tidak akan terwujud karena adanya koalisi tambun yang dibangun Yudhoyono untuk memenangkan pilpres satu putaran. Dan, saya kira bentuk kabinet ke depan akan banyak dipengaruhi koalisi tambun yang dibangun Partai Demokrat ini. Artinya, rezim SBY bukanlah rezim teknokratik seperti yang dibayangkan tetapi sebuah rezim akomodatif. Pengaruh partai-partai anggota koalisi tetap akan banyak menentukan kinerja rezim Yudhoyono ke depan.   

Faktor kedua adalah hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang akan banyak dibangun melalui pencitraan personalitas Yudhoyono. Seperti kita lihat dalam ajang pilpres tempo hari, citra Yudhoyono sebagai seorang figur yang santun, terdidik, dan penuh perhatian akan terus menjadi bahan bakar dalam menjalankan roda pemerintahan ke depan. Artinya, kebijakan-kebijakan publik akan lebih banyak dipengaruhi oleh bagaimana citra tersebut dijaga. Dengan demikian, efektivitas dan efisiensi program-program pemerintah bagi kepentingan publik tidak diukur dari dampak program tersebut kepada rakyat tetapi pada soal popularitas figur Yudhoyono. Hal ini penting untuk menjaga legitimasi rezim Yudhoyono.

Faktor terakhir adalah orientasi kebijakan rezim Yudhoyono yang sepertinya akan tetap konsisten dengan paradigm neoloberalisme. Sejumlah paket kebijakan akan segera dikeluarkan untuk menjamin proses integrasi ekonomi Indonesia ke dalam struktur global melalui intervensi modal asing, kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam. Kebijakan-kebijakan pro-rakyat yang bersifat superfisial akan muncul semata sebagai bantalan terhadap gejolak yang terjadi di tingkat akar rumput. 

Apakah rezim Yudhoyono mampu membawa Indonesia ke kondisi yang lebih baik? Kita tunggu sebentar lagi sampai lima tahun ke depan.


Sulfikar Amir mengajar sosiologi di Nanyang Technological University, Singapura. 
 

 



* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini