Sukses

Simalakama Risiko Sistemik

Belakangan ini muncul "binatang" baru dalam perdebatan ekonomi di Indonesia, yaitu resiko sistemik. Makhluk ini demikian ditakuti sehingga pantas dikucurkan dana 6.7 triliun untuk....


Berly Martawardaya


Belakangan ini muncul “binatang” baru dalam perdebatan ekonomi di Indonesia, yaitu risiko sistemik. Makhluk ini demikian ditakuti sehingga pantas dikucurkan dana Rp 6,7 triliun untuk menghalau kedatangannya. Tapi, menurut saya, keberadaannya antara ada dan tiada. Darmin Nasution, mewakili Bank Indonesia, menyatakan secara internasional, tidak pernah ada kriteria dampak sistemik. Ini bukan kelemahan BI karena pengaturan yang jelas akan menimbulkan moral hazard. Kriteria sistemik diadopsi dari nota kesepahaman yang berlaku di kawasan Uni Eropa.

Namun halaman awal dari hasil audit BPK menyatakan bahwa tujuan studi tersebut adalah menyelidiki dasar hukum, kriteria, dan proses pengambilan keputusan yang digunakan pemerintah dalam menetapkan status Bank Century sebagai berdampak sistemik. Salah satu kesimpulan audit BPK adalah BI dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tak memiliki kriteria terukur dalam menetapkan dampak sistemik Bank Century

Kenyataannya, Bank Indonesia telah menetapkan Bank Century sebagai Bank Gagal  yang berdampak sistemik dengan Surat Gubernur BI No. 01/232/GBI/Rahasia tertanggal 20 November 2008 yang diperkuat oleh rapat KKSK  pada 21 November 2008 dengan Keputusan No 04/KSSK/2008. Berarti BI memiliki kriteria tersendiri dalam mengkatagorisasikan apakah suatu permasalahan bank memiliki dampak yang terisolasi dan terbatas pada nasabahnya atau meluas pada bank lain dan sistem perbankan secara umum.

Bukankah hal ini menjadi argumen tambahan bahwa bank yang memiliki resiko sistemik harus dideteksi sedini mungkin dan dihilangkan, atau setidaknya dikurangi, risikonya? Tapi pernyataan di atas menyebutkan bahwa bila terdapat kategori yang jelas justru akan menimbulkan masalah baru. Jadi apakah sebaiknya terdapat indikator dan deteksi dini terhadap bank dengan risiko atau tidak? Sungguh bagai buah simalakama. Mari kita kaji premis dan landasan dari tindakan yang diambil otoritas keuangan dalam bail-out Bank Century.

Walau tidak ada aturan baku global tentang risiko sistemik perbankan seperti Basel accord  tentang komposisi modal, literatur ilmiah yang tersedia cukup memadai. Referensi itu bisa dari The Fed di Amerika, European Central Bank di Eropa, maupun IMF yang khusus diberi mandat oleh G20 untuk memantau stabilitas keuangan global.

Oliver de Bandt dan Philippe Heartman pada working paper No. 35/2000 yang diterbitkan European Central Bank mendefinisikan risiko sistemik ketika berita buruk mengenai satu institusi finansial, atau kegagalannya, akan mendorong kegagalan satu atau beberapa institusi finansial lain. Risiko sistemik dinyatakan kuat bila institusi lain yang secara fundamental kuat akan tergerus dan terkena dampak secara signifikan.

Pada kondisi tersebut, sirkulasi uang sebagai darah dari perbankan akan mengalami penciutan secara drastis. Tiap bank akan berusaha meningkatkan likuiditas tapi secara sistemik aksi tersebut justru akan menguranginya. Pemilik modal dan likuiditas akan dapat menikmati tingginya suku bunga pada masa panik tersebut yang akan menggerus profit perbankan. 

Lebih parah lagi, untuk mendapatkan likuiditas, bank mendesak peminjam untuk melunasi lebih cepat padahal sebagian pinjaman bank memiliki jatuh tempo yang sudah diperhitungkan dengan likuiditas. Nasabah yang panik dan mencairkan tabungan justru akan memperparah kondisi. 

Houben, Kakes, dan Schinasi (2004) dari IMF menyatakan terdapat empat penyebab utama munculnya risiko sistemik. Sumber pertama adalah institution base, yaitu sejauh mana bank telah menjalankan prinsip kehati-hatian. Jika suatu bank sudah memiliki reputasi buruk dalam kebijakan simpan pinjam serta pengelolaannya, kabar kegagalan kecil mungkin akan menjalarkan kepanikan di bank lain.

Sumber kedua adalah market-base and interconnectedness, yaitu sejauh mana aset bank tersebut bersumber dari bank lain dan sebanyak apa aset bank tersebut di bank lain. Semakin tinggi rasio tersebut, semakin tinggi risiko sistemik, apalagi untuk bank dengan proporsi terhadap total aset perbankan besar.

Sumber ketiga adalah infrastructure based, khususnya basis legal dan perundangan serta kerentanan terhadap efek domino. Sistem perbankan suatu perekonomian yang lemah di sisi ini hanya akan menarik arus dana jangka pendek yang akan kabur lagi ketika kondisi memanas. 

Sumber terakhir adalah sentimen regional dan global yang akan mempengaruhi kerentanan di suatu perekonomian. Negara yang kuat ekonominya, tapi jika secara global sedang ada resesi, dapat terseret juga oleh permasalahan yang sebenarnya tidak besar.

Secara besaran relatif agak sulit mengkategorikan Bank Century sebagai anchor bank yang akan mendorong krisis sistem perbankan jika dibiarkan gagal. Proporsi dana pihak ketiga (DPK) Bank Century hanya 0,08 persen dari total DPK perbankan. Pencairan kredit hanya 0,72 persen dari total, dan total aset hanya  0,72 persen dari total aset perbankan. 

Argumen moral hazard dapat diterima bila suatu institusi too big too fail (TBTF) dan cenderung mengambil kebijakan yang tidak prudent karena tahu akan di bail-out seperti banyak dituduhkan pada Goldman Sach dan AIG di Amerika Serikat. Cukup logis bila perusahaan ingin meraih status TBTF sehingga tidak perlu cemas dengan risiko kebijakan. Tapi tidak sulit untuk menyelesaikan masalah ini yaitu dengan memecah perusahaan TBTF menjadi beberapa perusahaan kecil yang lebih kompetitif dan efisien.

Argumen bahwa Bank Century memiliki keterkaitan erat dengan bank lain di Indonesia perlu dibuktikan dengan audit investigatif mengenai penempatan dana bank lain di Bank Century dan sebaliknya dalam berbagai bentuk (interbank loan, commercial paper, saham, obligasi, dan sebagainya.)

Kondisi ekonomi global tahun lalu memang sedang pada pertengahan krisis. Namun sebagian besar dana asing sudah keluar dari sistem keuangan Indonesia. Perlu dipertanyakan apakah kebijakan blank check tanpa batas terhadap bank gagal yang memiliki resiko sistemik patut dipertahankan. 

Bagaimana dengan MoU antara bank sentral, badan pengawas keuangan, dan para menteri keuangan di Eropa? Menarik sekali bahwa di antara kesepakatan bernomor  ECFIN/CEFCPE(2008)REP/53106 REV REV itu ditekankan soal akuntabilitas terhadap institusi bermasalah dan bahwa kreditor/deposan harus siap kehilangan sebagian dari tabungan mereka. Penggunaan uang publik tidak boleh taken for granted dan hanya digunakan bila manfaat sosial lebih besar ketimbang biaya rekapitulasi yang ditanggung publik.

Milton Friedman, peraih hadiah Nobel Ekonomi dari Universitas Chicago, menekankan bahwa bank sentral perlu mendahulukan rule than discretion sehingga pelaku ekonomi memiliki arahan dan kepastian dalam mengambil tindakan. Bila kebijakan moneter dan perbankan memiliki ruang deviasi yang sangat lebar justru dapat memicu moral hazard serta perilaku negatif pelaku pasar yang memiliki posisi tawar besar.

Menaklukkan suatu masalah harus dimulai dengan menghadapinya secara langsung. Sudah saatnya Indonesia menyusun Sistem Operasi Prosedur (SOP) kriteria deteksi dini dan langkah pengobatan yang transparan terhadap risiko sistemik di bidang finansial. Dengan begitu, keraguan terhadap penyelamatan seperti untuk Bank Century tidak muncul lagi di masa mendatang.


Penulis adalah staf pengajar di FEUI, ekonom senior INDEF, dan aktivis NU Professional Circle

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.